Recent Reader

Kamis, 15 Juli 2010

PT. DPL “Serobot” Tanah Warga

MODUS ACEH | Juli Saidi

PT. DPL “Serobot” Tanah Warga

Pertemuan Masyarakat kecamatan Babah Rot, Aceh Barat Daya (ABDYA) di ruang Rapat Musyawarah dengan DPR Aceh.
Diduga karena menyerobot tanah, dua puluh lebih warga Kecamatan Babah Rot, Aceh Barat Daya (Abdya) melapor ke DPRA. Said Syamsul Bahri, mantan Ketua DPRK Abdya membantah.

Menggunakan mobil angkutan umum L-300 dan milik pribadi, dua puluh dua warga Desa Pante Cermin, Kecamatan Babah Rot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Sabtu malam pekan lalu, menuju Banda Aceh.



Kedatangan puluhan masyarakat ini, terkait sengketa tanah antara masyarakat dengan PT. Dua Perkasa Lestari (PT. DPL) yang telah ditetapkan Hak Guna Usaha (HGU) tahun 2009 lalu. Luas pun tak tanggung-tanggung, 2. 590 hektar, yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit di Desa Air Merah, Babah Rot, Abdya.

Begitupun, usaha perkebunan tadi tak semulus yang dibayangkan. Sebaliknya, penetapan HGU PT. DPL ini mendapat protes dari masyarakat setempat. Warga disana tanahnya diserobot tanpa pemberitahuan oleh perusahaan itu. “Kami merasa hak kami diambil PT. DPL”, ungkap kepala Desa Pante Cermin, Tgk. Zakaria, Selasa pekan lalu.

Itu sebabnya masyarakat mengadu ke Komisi A, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Jalan Tgk Daud Beureueh, Banda Aceh. “Baiklah, kami persilakan untuk menyampaikan permasalahan yang terjadi kepada kami,” kata Ketua Komisi A, Adnan Beuransyah, Selasa pekan lalu.

Sebelum melangkah ke DPRA jelas Zakaria, masyarakat desa Pante Cermin sudah menempuh upaya lain. Misal, menyampaikan ke Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten (DPRK) priode 2004-2009. Tapi, ta membuahkan hasil. Bahkan, sempat dua kali dibentuk panitia khusus (Pansus).

Akibat aksi protes yang dilakukan warga terhadap HGU PT. DPL, beberapa warga sempat berusan dengan polisi. Diantaranya Tgk. Zakaria dan M. Yahya Banta. Mereka berdua dijemput aparat kepolisian, sekira pukul 18.15 WIB (26/10/09). Karena penangkapan secara paksa itu, menyebabkan M. Yahya Banta cedera, telingga kirinya mengalami gangguan.

Penangkapan tadi, belum melengkapi penderitaan yang dialami M Yahya dan Zakaria. Selama di Mapolres Abdya, keduanya tidak diberi makan. Mereka baru bisa bebas, setelah menandatanggani surat, menyangkut masalah tanah.

Tak hanya Zakaria dan Yahya Banta, enam masyarakat Babah Rot lainnya juga ditahan. Diduga, karena sengketa tanah antara masyarakat dengan PT. DPL. Hingga sekarang enam warga itu masih mendekam di rumah tahanan Tapaktuan, Aceh Selatan. “Hingga sekarang masih ada enam masyarakat di tahan”, lapor mereka kepada DPRA, Selasa pekan lalu.

Karena itu, masyarakat mengadukan diri ke DPRA. Sebab, bila sengketa tanah itu tak bisa diselesaikan, lebih baik mereka dipindahkan ke daerah lain. “Pindahkan saja kami ke daerah lain”, sebut salah seorang warga. “Kami berharap segera dikembalikan hak kami, bila tidak lebih baik kami dipindahkan ke daerah lain,” sebut seorang warga lain kepada anggota DPRA dalam pertemuan itu.

Tuntutan warga ini cukup beralasan. Pasalnya, tanah yang bersengketa itu, sudah digarap masyarakat sejak tahun 1992. Karena konflik, aktivitas bercocok tanam di tanah itu terhenti. “Tahun 1992 kami telah bercocok-tanam di areal tersebut, karena konflik, maka aktivitas pertanian masyarakat terhenti,” jelas Zakaria.

Pada 1994, warga setempat telah membentuk seunubok dan kelompok tani, buktinya di tangan masyarakat sudah mengantongi surat keterangan tanah (SKT) sebagai pegangan atau bukti kepemilikan tanah yang ditanda tangani kepala desa, kepala dusun, ketua sineubok, dan warga pemilik tanah. “Setiap warga yang tergabung dalam 30 kelompok seuneubok dan kelompok tani memiliki SKT,” kata Zakaria.

Bukti lain, kepemilikan tanah itu, menurut Zakaria, dengan tanaman kuini, durian, sukun, dan sawit. Tapi, karena tanah itu telah dikuasai PT. DPL, maka sebahagian tanaman masyarakat sudah ada yang dibabat. “Bukti lain sebagai hak kami, warga sudah menanam tanaman durian, kuini dan pohon lainnya,” terang Zakaria.

Pengakuan serupa disampaikan mantan kepala desa, Jawahir. Katanya, tahun 2003 lalu, Pemerintah Aceh, melalui Dinas Sosial, telah pula membuat program komunitas masyarakat terpencil (KAT) di areal HGU itu. Program KAT ini telah menyediakan lahan di areal HGU seluas 200 hektar.

Laporan masyarakat tadi mendapat respon dari anggota DPRA, Adnan Beuransyah. Kata Adnan, dalam waktu dekat, DPRA segera memanggil Biro Pemerintah Aceh, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Pertanahan Nasional serta Direktur Utama PT. Dua Perkasa Lestari dan juga mantan Ketua DPRK Abdya, Said Syamsul Bahri. Termasuk, Kapolda Aceh. “Dalam waktu dekat kami akan panggil lembaga dan dinas yang telah kami sebutkan tadi”, kata Adnan dalam pertemuan bersama masyarakat Abdya.

Begitupun Adnan berharap, semua bukti dan masalah yang dihadapi masyarakat, disampaikan kepada DPRA, supaya kasus itu mudah dipahami, sehingga gampang mencari jalan keluarnya. “Kami berharap jangan ada yang ditutup-tutupi, semua masalah dan bukti tolong diserahkan kepada kami,” minta Adnan.

Anggota Komisi B DPRA, Muhammad Tanwir Mahdi yang juga putera Aceh Barat Daya mengatakan, bila dilihat dari pengakuan masyarakat, secara faktual, tanah itu jelas milik masyarakat. Namun, bila dilihat dari kelengkapan administrasi, itu jelas lebih lengkap perusahaan. Tanwir berharap penyelesaian tanah itu tidak hanya dilihat dari sudut pandang administrasi semata. Namun, pemerintah juga harus melihat dari faktual di lapangan, karena sesuai dengan apa yang disampaikan masyarakat, mereka juga punya hak. “Kalau kita lihat dari kelengkapan administrasi mungkin PT. DPL lebih lengkap dan PT memang punya dana untuk itu, maka kita berharap pemerintah juga harus melihat faktualnya,” kata Tanwir Mahdi.

Direktur Utama PT. Dua Perkasa Lestari, Said Syamsul Bahri kepada MODUS ACEH, Jumat pekan lalu mengatakan, protes itu diduga ada unsur kepentingan politik. Itu sebabnya, ia berharap persoalan ini hendaknya diselesaikan di daerah. Alasanya, warga belum pernah melaporkan persoalan itu kepadanya tentang persengketaan tanah tersebut. “Hingga hari ini kepada saya belum ada warga yang melapor ada tanah mereka di areal PT. DPL,” kata Said Syamsul Bahri melalui telpon.

Mantan Ketua DPRK Abdya ini mengaku, HGU yang telah ditetapkan dan diproses sejak 2005 dan hingga dikeluarkannya izin HGU tahun 2009 itu, sesuai dengan aturan dan tidak menyerobot tanah masyarakat. Karena itu, bila ada masyarakat yang mengatakan PT. DPL menyerobot tanah warga, itu tidak tepat dan boleh dilihat lansung ke lapangan, tantang Said Sayamsul.

Soal warga yang ditahan, sepengetahuan Said Syamsul Bahri belum pernah mengeluarkan perintah pihak perusahaan menangkap atau menahan masyarakat.” Saya belum pernah menyuruh polisi untuk menangkap warga, dan protes juga bukan warga di areal HGU, karena HGU di Desa Air Merah,” kata Syamsul, Jumat pekan lalu.

Kata Syamsul, bila DPRA memanggil, dirinya siap. Asal pemanggilannya itu dalam konteks wajar. “Jika DPRA memaggil, saya siap, tapi kita lihat dulu dalam konteks apa, kita juga menghormati lembaga dewan sebagai fungsi pengawasan,” jelasnya.

Dari amatan MODUS ACEH, sebelum berkunjung ke DPRA, lebih awal masyarakat mendatangi Kantor Bandan Pertanahan Nasional (BPN), Banda Aceh, Senin pekan lalu. Kehadiran masyarakat itu disambut Kakanwil BPN Aceh, Teuku Murdani.

Begitupun, Rabu pekan lalu warga Pante Cermin itu kembali menyampaikan sengketa tanah antara masyarakat dengan PT. DPL kepada Gubernur Aceh. Sayang aksi protes mereka itu tidak mendapat tanggapan karena Gubernur, Wakil Gubernur, dan Sekda Aceh tidak berada di tempat.

Lantas, Jumat pekan lalu, dua puluh warga mendatangi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, melaporkan tindakan yang dilakukan oleh oknum polisi dan enam orang warga yang masih mendekam di LP Tapaktuan, Aceh Selatan.***

Sumber : http://www.modusaceh.com/html/read/daerah-abdya/2674/pt_dpl_%E2%80%9Cserobot%E2%80%9D_tanah_warga.html/

0 komentar:

Posting Komentar